SEKOLAH RAMAH ANAK (SRA)
Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainya serta mendukung partisipasi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus, terutama dalam perencanaan kebijakan pembelajaran dan pegawasan.
Mewujudkan sekolah ramah anak memerlukan pengembangan dalam hal berikut:
A. Pengelolaan Lingkungan Fisik
1. Aksesibilitas di Lingkungan Sekolah
Kemudahan Aksesibilitas dilingkungan sekolah inklusif ramah anak merupakan salah satu indikator kualitas layanan publik,khususnya bagian dari lingkungan sekolah yang ramah anak. Penyediaan desain lingkungan yang inklusif ramah anak, termasuk kemudahan bagi ABK dan penyandang disabilitas pada umumnya bahkan telah dituangkan dalam konvensi internasional.
Konvensi PBB tentang Hak Disabilitas (Convention on The Rights of People with Disability) menyatakan bahwa Disain universal adalah desain untuk produk, lingkungan, program, dan layanan yang dapat digunakan bagi semua orang semaksimal mungkin tanpa memerlukan desain tambahan atau desain khusus. “Desain universal” tidak bertujuan untuk meniadakan alat bantu bagi disabilitas tertentu jika memang mereka membutuhkan.
Tiga belas hal pertama yang sering kita temui pada bangunan umum adalah tangga yang harus dijajaki sebelum bisa masuk ke gedung. Tangga sering kali menjadi penghambat pertama bagi banyak anak dan orang dewasa dalam mengakses sekolah atau bangunan umum lainnya. Secara langsung hambatan tersebut juga menghalangi mereka untuk menikmati layanan-layanan yang
2
ditawarkan oleh fasilitas ini. Terkadang tangga hanya memilki dua atau tiga anak tangga namun terdapat pula tangga yang memilki begitu banyak anak tangga. Beberapa tangga sudah memiliki pegangan rambat di kedua sisinya guna meringankan langkah pengguna, tapi kebanyakan belum memilikinya.
Dengan demikian semua bangunan umum harus menyediakan beberapa cara alternatif untuk masuk kedalamnya. Lantai yang landai (ramp) umumnya paling mudah dan relatif murah untuk dibangun (setidaknya pada bangunan 1 lantai) dan bermanfaat bagi banyak orang. Ramp seharusnya diadakan di semua bangunan sekolah dan bangunan umum lainnya. Ketika bangunan sekolah baru dirancang dan disain sedang dikembangkan, harus dipastikan bahwa semua bagian bangunan tersebut harus dapat diakses oleh semua orang. Ramp dan akses jalan lainya harus didesain sebagai satu kesatuan sehingga tidak menjadi akses terpisah bagi anak, guru, orang tua dengan disabilitas, wanita hamil, dan manula. Sebaliknya strategi desain seperti ini akan menghadirkan akses jalan dengan berbagai alternatif yang menarik bagi semua penggunanya. Ruang, pencahayaan, bahan dan warna yang digunakan mempengaruhi pengalaman pembelajaran yang kita dapatkan. Sekolah dapat menggunakan dengan baik elemen-elemen ini dalam menciptakan bangunan dan lingkungan yang mencerminkan kebutuhan dan keinginan para siswa dan stafnya. Sayangnya, sekolah sering dirancang dan dibangun tanpa sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat penggunanya (Ian Kaplan, 2007).
Karena itu, desain universal tidak “hanya” terkait dengan pengadaan akses, tetapi juga dengan pengembangan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan ramah di sekolah. Sekolah yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip desain universal akan lebih efektif dalam memberikan layanan pembelajaran karena sekolah ini memungkinkan semua anak untuk belajar, berkembang, dan berpartisipasi, bukan sebaliknya “membuat anak menjadi tidak mampu” dengan menciptakan berbagai hambatan bagi perkembangan dan partisipasi mereka.
3
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 2016, pasal 2 menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan salah satu pelaksanaan dan pemenuhan hak disabilitas. Penjaminan hukum layanan aksesibilitas tersebut salah satunya dilakukan dalam rangkamemastikan pelaksanaan upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk mengembangkan diriserta mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati,berperan serta, berkontribusi secara optimal, aman,leluasa,dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara,dan bermasyarakat. Penerapan dan jaminan hak yang digariskan dalam UU nomor 8 tahun 2016 tersebut memiliki urgensi tinggi terutama kaitanya dengan upaya penyelenggaraan pendidikan inkusif yang telah memiliki kekuatan hukum dengan diundangkannya permendiknas no. 70 tahun 2009.
2. Sarana Prasarana dan Penataan Ruangan
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan fasilitas pendidikan yang sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan (Prasojo, 2015:2).Pendapat lain dikemukakan oleh Muhammad Joko Susilo (2008;65), sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan khususnya proses belajar mengajar.Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran. Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sarana prasarana pendidikan merupakan segala jenis fasilitas baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang mendukung proses pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu.Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan
4
tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi aksesibilitas bagi kelancaran mobilisasi ABK, serta media pembelajaran yang sesuai dengan ABK (POS Pendidikan Inklusif, 2007).
a. Prinsif Desain Universal Layanan Pengembangan Aksesibilitas Sarana dan Prasarana Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
Terdapat tujuh prinsip desain universal pengembangan aksesibilitas sarana dan prasarana dalam layanan Pendidikan inklusif yang ramah anak. Ketujuh prinsif tersebut adalah sebagai berikut :
Prinsip 1 : dapat digunakan oleh semua orang. Sebuah desain harus dapat digunakan dan bermanfaat bagi semua orang termasuk penyandang disabilitas. Penyediaan aksesibilitas bagi semua anak di sekolah dan di dalam sarana dan prasarana sekolah dapat diwujudkan melalui langkah yang sederhana dan hemat biaya.
Prinsip 2 : fleksibel dalam penggunaannya. Sebuah desain harus dapat mengakomodir beragam pilihan kenyamanan dan kebutuhan dalam penggunaannya.
Prinsip 3 : mudah digunakan. Sebuah desain harus mudah untuk dipahami bagi semua pengguna sebagai individu yang memiliki latar belakang pengalaman, pengetahuan, kemampuan bahasa, dan tingkat pemusatan konsentrasi yang berbeda-beda.
Prinsip 4 : informasi penggunaan yang jelas. Sebuah disain harus dapat memberikan informasi yang diperlukan secara jelas bagi para penggunanya yang memiliki perbedaan pada tingkat fungsi dan kondisi alat indera. Terkait pembelajaran di sekolah, maka sebaiknya buku pembelajaran dicetak dengan tinta dan juga Braille. Buku cetak tinta sebaiknya berkualitas baik dan memiliki paduan warna yang kontras. Minimal ukuran huruf yang digunakan (font) adalah 12. Jika buku dicetak
5
dengan menggunakan ukuran huruf yang lebih kecil, maka buku cetak besar juga harus disediakan untuk anak penyandang low vision.
Prinsip 5 : toleransi untuk kesalahan. Sebuah desain harus meminimalisir tingkat bahaya dan konsekuensi kerugian yang ditimbulkan jika terjadi kekeliruan atau kesalahan dalam penggunaannya.
Prinsip 6 : tidak memerlukan banyak tenaga fisik dalam penggunaannya.Sebuah disain harus dapat digunakan secara efisien, nyaman, dan tidak menyebabkan kelelahan pada penggunanya.
Prinsip 7 : ukuran dan ruang yang tepat. Ukuran dan lebar yang sesuai dalam sebuah disain ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi penggunanya dalam menjangkau, mendekati, mengembangkan, dan menggunakan terkait dengan ukuran, postur, dan kemampuan mobilitas pengguna yang berbeda-beda.
Contoh penerapan universal disain:
Ruang kelas yang fleksibel bagi semua penggunanya (kursi dapat dipindahkan), bangunan dengan lantai yang rata, jalan masuk tanpa tangga, akses masuk pintu yang cukup lebar, tombol yang bisa dikenali melalui indra peraba, pengaturan pencahayaan yang sesuai, rambu-rambu atau pelabelan yang jelas, dll. (Unesco, 2009)
b. Saran Praktis untuk Menciptakan Aksesibilitas di Ruang Kelas
Pintu harus mudah dibuka dan ditutup serta tidak memerlukan banyak tenaga
dalam membukanya (secara berangsur-angsur pintu yang sudah tua sebaiknya diganti). Sebaiknya gunakanlah pintu geser (sliding door) atau jenis pintu lain yang tidak menggunakan daun pintu agar tidak menghalangi akses bagi pengguna kursi roda. Pintu harus dibuat selebar mungkin agar mudah dilalui kursi roda.
Sediakan ramp bagi pengguna kursi roda (kelandaian ramp sebaiknya tidak terlalu curam, ukuran ideal 1: 12 dengan penambahan panjang
6
12cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm. Standar minimum: 1:10 dengan penambahan panjang 10 cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm dan lebar ramp adalah 120 cm. Sedangkan ukuran kelandaian ideal adalah 1: 20 dengan lebar 95 cm. (dikutip dari “Aksesibilitas Fisik” diterbitkan oleh Arbeiter Samariter Bund (ASB).
Petunjuk: Pertimbangkanlah jarak antar meja di kelas guna memudahkan mobilitas kursi roda. Lebar kursi roda standar adalah 80 cm, agar dapat dilalui kursi roda maka jarak antar meja harus lebih dari 80 cm. Sebaiknya sediakan jalur pemandu di lorong sekolah sebagai peringatan •keberadaan obyek tertentu seperti pintu yang mungkin saja sedang terbuka ketika anak melewati lorong tersebut. Hal ini akan membahayakan siswa terutama bagi penyandang tunanetra. Saklar lampu sebaiknya diletakkan di tempat yang mudah di jangkau oleh semua anak dengan mempertimbangkan kemampuan jarak capai atau tinggi anak yang berbeda-beda.
Tempatkan stop kontak dan saluran listrik pada satu posisi yang sama di setiap kelasnya dan sebaiknya diletakkan di atas meja dekat saklar sehingga memudahkan semua anak dalam penggunaannya terutama anak penyandang tunanetra dan disabilitas fisik.
Perhatikan standar keamanan saat pemasangan segala jenis instalasi listrik, utamakan penggunaan perangkat yang memiliki fitur keamanan bagi anak. Misalnya dengan menggunakan stop kontak tertutup untuk mencegah anak memasukan jarinya ke dalam stop kontak yang dapat mengakibatkan anak terkena sengatan listrik.
Gunakan warna-warna kontras untuk menciptakan lingkungan yang aksesibel dan ramah terhadap pembelajaran .
Suara atau tingkat kegaduhan di dalam kelas dapat diminimalisir dengan menggunakan gorden, dekorasi dinding dari bahan tekstil, dan bahan peredam suara lainnya.
Kodifikasi (penggunaan kode) warna sebaiknya digunakan untuk membedakan ruang kelas. Penerapan kodifikasi ini akan
7
memudahakan siswa terutama anak penyandang low vision, tunagrahita, lamban belajar dan lain-lain. Penerapan berbagai warna juga akan membuat kesan sekolah yang ceria dan menyenangkan bagi semua.
Setiap pintu sebaiknya dilengkapi dengan simbol penanda atau keterangan dalamhuruf braille sebagai petunjuk bagi anak penyandang low vision maupun tuna netra.
Petunjuk: Setiap bagian bangunan sekolah dan materi pembelajaran sebaiknya bersifat aksesibel sejak awal perancangan maupun pembangunannya. Dengan demikian penyediaan aksesibilitas akan lebih hemat biaya bila dibandingkan jika penyesuaian aksesibilitas dibuat setelah bangunan atau materi pembelajaran siap pakai.
Jika di sekolah hanya lantai 1 saja yang aksesibel, maka pastikan pula semua kelas yang di dalamnya terdapat siswa tunadaksa (misal, menggunakan kursi roda/kruk) ditempatkan hanya di lantai 1 saja.
Halaman sekolah atau arena bermain anak, tidak seharusnya menjadi area parkir karena dapat membahayakan semua warga sekolah. (Unesco, 2009)
c. Prinsip Penataan Ruang Kelas Inklusif
Penataan ruang kelas dalam seting sekolah inklusif bertujuan untuk memudahkan aksesibilitas dalam aktivitas pembelajaran bagi semua peserta didik, termasuk di dalamnya PDBK. Berikut ini prinsip penerapan ruang kelas dari kelas rendah sampai kelas tinggi sekolah dasar inklusif yang mengusung tema ramah anak.
1) Berpusat Pada Anak (Child Centered)
Penataan ruang kelas harus memungkinkan anak untuk bergerak, berinteraksi, berdiskusi, dapat mengakses alat bahan secara mandiri sesuai dengan kebutuhannya.
2) Learning Centers (pembagian Zona)
8
Area-area dimaksudkan sebagai sumber belajar bagi anak yang sebisa mungkin ditata sesuai dengan apa yang sedang dipelajari (tema Pembelajaran)
3) Menarik dan Menantang
Penataan dibuat sedemikian rupa agar menarik dan kreatif sehingga memunculkan rasa senang bagi siswa dan mampu memberikan insfirasi. Penataan kelas juga harus menantang hingga mendorong siswa untuk mengeksplorasi, menemukan, dan berpikir.
4) Estetis
Selain harus menarik dan menantang, penataan ruang kelas juga harus memperhatikan prinsip estetika.penataan kelas harus tetap rapi, bersih dan mampu memunculkan nilai seni. ( Oktina, 2014)
d. Sarana dan Prasarana Umum yang Dibutuhkan di Sekolah Inklusif
Sarana dan prasarana umum yang dibutuhkan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif relatif sama dengan di sekolah reguler pada umumnya, yaitu meliputi: ruang kelas, ruang praktikum (laboratorium), ruang perpustakaan, ruang serbaguna. ruang bimbingan konseling. ruang usaha kesehatan sekolah, ruang kepala sekolah, guru, dan tata usaha, lapangan olahraga, toilet, ruang ibadah, ruang kantin, ruang sumber ( ruang ini merupakan kekhususan pada sekolah inklusif yang membedakan dengan sekolah lainnya. Ruang sumber ini dilengkapi media khusus yang diperlukan bagi ABK).
e. Media Pembelajaran dan Peralatan Khusus
Mengapa sarana-prasarana, media pembelajaran, dan peralatan khusus bagi ABK dalam seting sekolah inklusif sangat penting? SPPI adalah sekolah yang menyediakan layanan pendidikan bagi semua peserta didik reguler maupun PDBK di kelas yang sama. SPPI merupakan tempat pendidikan untuk ABKguna mendapat perlakuan secara proporsional dari semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Konsekuensi dari kondisi SPPI menuntut adanya penyesuaian strategi
9
pembelajaran dalam upaya melaksanakan kurikulum yang telah disahkan secara nasional.
KehadiranPDBK menuntut sekolah untuk menyiapkan sarana-prasarana khusus sesuai dengan karakteristik peserta didik dan strategipembelajaran oleh guru yang bervariasi. Penyediaan sarana-prasarana dan media pembelajaran tidak perlu menuntut adanya biaya tinggi dan sulit untuk mendapatkannya. Berbekal kreativitas, para guru dapat membuat dan menyediakan sumber belajar, media belajar yang sederhana dan murah. Misalnya, guru dan peserta didik memanfaatkan bahan bekas. Bahan bekas yang banyak berserakan di sekolah dan rumah, seperti kertas, bekas kaleng minuman, mainan, kotak pembungkus, bekas kemasan sering luput dari perhatian kita. Dengan sentuhan kreativitas, bahan-bahan bekas yang biasanya dibuang secara percuma dapat dimodifikasi dan didaur-ulang menjadi sumber belajar, media belajar yang sangat berharga. Demikian pula, dalam memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, media belajar tidak perlu harus pergi jauh dengan biaya yang mahal, lingkungan yang berdekatan dengan sekolah dan rumah pun dapat dioptimalkan menjadi sumber belajar yang sangat bernilai bagi kepentingan belajar peserta didik. Tidak sedikit sekolah-sekolah memiliki halaman atau pekarangan yang cukup luas, namun keberadaannya seringkali ditelantarkan dan tidak terurus. Jika saja lahan-lahan tersebut dioptimalkan tidak mustahil akan menjadi sumber belajar/media pembelajaran yang sangat berharga bagi peserta didik (Direktorat pembinaan Pendidikan Khusus dan layanan Khusus, 2012).
Sarana dan prasana dalam bentuk peralatan khusus sangat menunjang bagi layanan pembelajaran berkualitas. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan ABK di sekolah inklusif tentunya sangat bervariasi sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak.
Layanan pembelajaran yang berkualitas untuk peserta didik tunagrahita misalnya membutuhkan dukungan sejumlah media pembelajaran dan
10
peralatan khusus seperti:a) alat asesmen, b) media untuk latihan sensori visual, c) media untuk latihan sensori perabaan, d)media atau alat bantu untuk sensori pengecap dan perasa, e) media dan peralatan khusus untuk latihan bina diri, f) media untuk memperkenalkan konsep dan simbol bilangan, g) media dan peralatan khusus untuk pengembangan kreativitas, daya pikir dan konsentrasi, h) alat pengajaran bahasa, dan i) latihan perseptual motor.
B. Pengelolaan Lingkungan Non Fisik
Pengelolaan non fisik dalam konteks akomodasi lingkungan ramah anak seting sekolah inklusif merupakan bagian dari implementasi sekolah ramah anak. Oleh karena itu mari kita bahas terlebih dahulu konsepsi tentang sekolah ramah anak. Selanjutnya kita bahas situasi dan suasana pembelajaran yang inklusif ramah anak, Pengelolaan kelas (Classroom management), pengembangan kerjasama dengan pihak lain, pengembangan siklap/karakter penerimaan terhadap peserta didik, penerapan strategi tutor teman sebaya, dan pengelolaan peserta didik.
1. Konsep Dasar Sekolah Ramah Anak dalam Konteks Pendidikan Inklusif
Konsep Sekolah Ramah Anak didefinisikan sebagai program untuk mewujudkan kondisi aman, bersih, sehat, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, yang mampu menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya, selama anak berada di satuan pendidikan, serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran dan pengawasan. Secara konseptual Sekolah Ramah Anak adalah satuan pendidikan yang mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak, dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, dan mekanisme pengaduan (Permen PP dan PA Nomor 8 Tahun 2014). Sekolah Ramah Anak adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan
11
nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus.
Secara umum, prinsip utama sekolah ramah anak adalah bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pembentukan dan Pengembangan Sekolah ramah anak (SRA) didasarkan pada prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan anak, kelangsungan hidup, perkembangan, penghormatan terhadap pandangan anak, dan pengelolaan yang baik. (Direktorat Pembinaan Guru Dikmen dan Diksus, 2019)
2. Situasi dan Suasana Pembelajaran
Situasi dan suasana pembelajaran yang ramah anak dan dilandasi nilai-nilai kebersamaan merupakan bagian penting dalam konteks akomodasi lingkungan non fisik di sekolah inklusif. Untuk mewujudkan nilai-nilai kebersamaan dalam seting sekolah inklusif, diperlukan suatu upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai kebersamaan (Togetherness Values) dalam aktivitas pembelajaran maupun kegiatan di luar pembelajaran, seperti kegiatan ekstrakurikuler, bahkan dalam momen bermain bebas saat waktu istirahat. Dalam konteks ini, sekolah dituntut untuk dapat memberikan makna terjadinya proses internalisasi nilai-nilai kebersamaan pada setiap aktivitas peserta didiknya.
Manakala nilai-nilai kebersamaan dapat di internalisasikan di SPPI, maka sekolah inklusif akan memberikan peran sebagai agen perubahan terwujudnya masyarakat inklusif sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia, yakni masyarakat yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Situasi dan suasana pembelajaran yang dibangun diatas keberagaman tetapi menuju kearah tujuan yang sama, yaitu memberikan layanan Pendidikan yang berkualitas sesuai kakarkeristik dan kebutuhan individu peserta didik dengan menempatkan nilai kebersamaan sebagai nilai intinya (Core value).
12
Berdasarkan kajian terhadap komponen program (Stainback, 1990:23), aktivitas pembelajaran (Unesco, 1998), layanan pembelajaran (Johnsen dan Skojen, 2001:5), respon terhadap keragaman peserta didik (Lynch, dalan Budiyanto, 2005 : 42-46), dan pola pembelajaran, dapat dirumuskan indikator nilai-nilai kebersamaan yang mewarnai situasi dan suasana pembelajaran dalam praktik penyelenggaraan sekolah inklusif sebagai berikut:
a. Sekolah menyediakan program yang layak, menantang, dan aksesible untuk semua peserta didik, dengan tetap memperhatikan aspek kebutuhan khusus pada setiap individu;
b. Setiap peserta didik, termasuk di dalamnya ABK, memiliki suasana yang damai dan harmoni dalam melakukan aktivitas pembelajaran dan aktivitas lainnya, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial;
c. Aktivitas pembelajaran di sekolah inklusif berbasis pada nilai perdamaian, demokrasi, hak asasi maunia, dan pembangunan berkelanjutan;
d. Adanya kepekaan sosial dan kesiapan akademis dari warga sekolah untuk senantiasa meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam memberikan layanan pembelajaran bagi setiap peserta didik yang berbasis pada analisis kebutuhan individu;
e. Sekolah harus merespon keragaman peserta didik secara luas, baik dalam hal latar belakang sosial ekonomi dan budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan, dan potensi yang berbeda-beda;
f. Pola pembejaran yang dilakukan di sekolah inklusif berbasis pada pendekatan pembelajaran berpusat pada anak (Teaching Base of Students Centre);
g. Pola pembelajaran yang berbasis pada pola kolaboratif yang sistemik, yang melibatkan peran dari kepala sekolah, guru, orang tua peserta didik, dan masyarakat.
(Hermansyah, 2014).
13
3. Manajemen/Pengelolaan Kelas (Classroom Management)
Manajemen kelas inklusif dirancang agar pembelajaran dalam kelas inklusif yang heterogen dapat berjalan secera efektif. Adanya peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah inklusi berimplikasi pada perubahan orientasi dan manajemen, tidak hanya pada level sekolah, tetapi juga pada manajemen kelas. Pembelajaran di sekolah inklusif dimana di kelas tersebut beranggotakan ABK menuntut perubahan dan penyesuaian-penyesuaian. Guru kelas tidak lagi berorientasi klasikal tetapi dihadapkan pada keberagaman kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, pengelolaan kelas di sekolah inklusif menjadi hal yang sangat penting dalam tataran implementasi pendidikan inklusif. Pemahaman yang baik terhadap pengelolaan kelas akan dapat meminimalisir permasalahan yang dialami oleh guru kelas dalam mengelola kelas yang heterogen.
Pembelajaran yang bermakna bukan saja hanya mengajar, bukan saja penyampaian informasi/pesan tetapi juga meliputi perkembangan pribadi siswa, interaksi sosial serta penanaman sikap dan nilai pada diri siswa. Proses belajar yang bermakna akan terwujud dalam kondisi, suasana iklim kelas yang kondusif, efektif, kreatif, produktif dan menyenangkan. Selain itu terbina hubungan interpersonal yang sehat dan mendorong munculnya perubahan perilaku belajar peserta didik yang diharapkan.
Pengelolaan kelas disekolah lnklusif adalah serangkaian aktivitas dan kegiatan yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran mulai dari perencanaan proses pembelajaran, metode, strategi dan pendekatan serta evaluasi pembelajaran. Manajemen kelas inklusif dirancang untuk tercipta kelas yang kondusif, aktif, kreatif, kooperatif dan menyenangkan melalui penciptaan lingkungan kelas yang kondusif, iklim dan suasana psiko sosial dan emosi yang positif, serta penciptaan sistem sosial yang memungkinkan anak dapat berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian manajemen atau pengelolaan kelas inklusif pada dasarnya merupakan
14
implementasi dari prinsif-prinsif pembelajaran yang harus mewarnai suasana pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik serta mengacu kepada kurikulum yang dikembangkan. SPPI dalam dimensi pengelolaan kelas inklusif perlu melakukan berbagai pembenahan diantaranya sebagai berikut:
a. Guru harus mampu menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka ragaman, dan menghargai perbedaan;
b. Sekolah harus siap mengelolaa kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual;
c. Guru harus mampu menerapkan pembelajaran yang interaktif, kolaboratif, dan memberikan stimulasi bagi terjadinya interaksi sosial diantara peserta didik yang beragam;
d. Guru pada SPPI dituntut mampu melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya manusia lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran;
e. Guru pada SPPI dituntut mampu melibatkan orang tua peserta didik secara bermakna dalam proses Pendidikan.
Pada proses pembelajaran di sekolah inklusif, PDBK disamping belajar secara klasikal dengan teman-teman sebayanya di dalam kelas, juga mendapatkan layanan bembelajaran individual sesuai kajian hasil asesmen akademik dan non akademik. Proses pembelajaran individual ini biasa disebut dengan istilah One to One Teaching yang sesi belajarnya dilakukan di ruang khusus pembelajaran individual.
Prinsip-prinsip pengelolaan kelas inklusif untuk berlangsungnya pembelajaran yang kondusif secara umum sama dengan prinsip pengelolaan pembelajaran bagi peserta didik pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan kebutuhan khusus yang mengalami kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas inklusif disamping
15
menerapkan prinsip-prinsip umum, juga diharuskan memiliki kemampuan menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik ABK.
16
DAFTAR RUJUKAN
Dadang Garnida ( 2015). Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung : PT. Refika Aditama
Edi Prabowo (2018) Belajar Inklusif ke Negeri Kanguru. Jakarta : Media Gur
Hermansyah (2014). Pengembangan Strategi Internalisasi Nilia-Nilai Kebersamaan pada Peserta Didik di Sekolah Dasar Inklusif-Disertasi. Bandung: UPI
Hermansyah (2017). Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan Peserta Didik di Sekolah Inklusif. Jakarta : Mediaguru
J. David Smith (1998). Inclusion, School for All Student. Penerjemah -Denis,Ny Enrica (2015). Bandung : Nuansa Cendekia
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012) Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus.
Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Dikdasmen
Lantip D. Prasojo. (2005). Manajemen sarana dan prasarana berbasis TI. Diakses pada situshttp://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/Manaj%20Sarana%20Prasarana%20Berbasis%20TI.pdfpada tanggal 29 April 2013 pukul 19.24 WIB
Muhammad Joko Susilo. (2008). Kurikulum tingkat satuan pendidikan: Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Oktina Dwi Kartikasari ( 2014). Manajemen Sarana Prasarana Pembelajaran di SD Tumbuh 1 Yogyakarta.Skripsi S1 universitas Negeri Yogyakarta.
Prabowo, E (2018) Belajar Inklusif ke Negeri Kanguru. Jakarta : Media Guru
sumber: gurubelajar.kemdikbud.co.id