Tuesday, May 11, 2021

Sekolah Ramah Anak (SRA)



SEKOLAH RAMAH ANAK (SRA)

Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainya serta mendukung partisipasi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus, terutama dalam perencanaan kebijakan pembelajaran dan pegawasan.

Mewujudkan sekolah ramah anak memerlukan pengembangan dalam hal berikut:

A. Pengelolaan Lingkungan Fisik

1. Aksesibilitas di Lingkungan Sekolah

Kemudahan Aksesibilitas dilingkungan sekolah inklusif ramah anak merupakan salah satu indikator kualitas layanan publik,khususnya bagian dari lingkungan sekolah yang ramah anak. Penyediaan desain lingkungan yang inklusif ramah anak, termasuk kemudahan bagi ABK dan penyandang disabilitas pada umumnya bahkan telah dituangkan dalam konvensi internasional.

Konvensi PBB tentang Hak Disabilitas (Convention on The Rights of People with Disability) menyatakan bahwa Disain universal adalah desain untuk produk, lingkungan, program, dan layanan yang dapat digunakan bagi semua orang semaksimal mungkin tanpa memerlukan desain tambahan atau desain khusus. “Desain universal” tidak bertujuan untuk meniadakan alat bantu bagi disabilitas tertentu jika memang mereka membutuhkan.

Tiga belas hal pertama yang sering kita temui pada bangunan umum adalah tangga yang harus dijajaki sebelum bisa masuk ke gedung. Tangga sering kali menjadi penghambat pertama bagi banyak anak dan orang dewasa dalam mengakses sekolah atau bangunan umum lainnya. Secara langsung hambatan tersebut juga menghalangi mereka untuk menikmati layanan-layanan yang

2

ditawarkan oleh fasilitas ini. Terkadang tangga hanya memilki dua atau tiga anak tangga namun terdapat pula tangga yang memilki begitu banyak anak tangga. Beberapa tangga sudah memiliki pegangan rambat di kedua sisinya guna meringankan langkah pengguna, tapi kebanyakan belum memilikinya.

Dengan demikian semua bangunan umum harus menyediakan beberapa cara alternatif untuk masuk kedalamnya. Lantai yang landai (ramp) umumnya paling mudah dan relatif murah untuk dibangun (setidaknya pada bangunan 1 lantai) dan bermanfaat bagi banyak orang. Ramp seharusnya diadakan di semua bangunan sekolah dan bangunan umum lainnya. Ketika bangunan sekolah baru dirancang dan disain sedang dikembangkan, harus dipastikan bahwa semua bagian bangunan tersebut harus dapat diakses oleh semua orang. Ramp dan akses jalan lainya harus didesain sebagai satu kesatuan sehingga tidak menjadi akses terpisah bagi anak, guru, orang tua dengan disabilitas, wanita hamil, dan manula. Sebaliknya strategi desain seperti ini akan menghadirkan akses jalan dengan berbagai alternatif yang menarik bagi semua penggunanya. Ruang, pencahayaan, bahan dan warna yang digunakan mempengaruhi pengalaman pembelajaran yang kita dapatkan. Sekolah dapat menggunakan dengan baik elemen-elemen ini dalam menciptakan bangunan dan lingkungan yang mencerminkan kebutuhan dan keinginan para siswa dan stafnya. Sayangnya, sekolah sering dirancang dan dibangun tanpa sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat penggunanya (Ian Kaplan, 2007).

Karena itu, desain universal tidak “hanya” terkait dengan pengadaan akses, tetapi juga dengan pengembangan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan ramah di sekolah. Sekolah yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip desain universal akan lebih efektif dalam memberikan layanan pembelajaran karena sekolah ini memungkinkan semua anak untuk belajar, berkembang, dan berpartisipasi, bukan sebaliknya “membuat anak menjadi tidak mampu” dengan menciptakan berbagai hambatan bagi perkembangan dan partisipasi mereka.

3

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 2016, pasal 2 menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan salah satu pelaksanaan dan pemenuhan hak disabilitas. Penjaminan hukum layanan aksesibilitas tersebut salah satunya dilakukan dalam rangkamemastikan pelaksanaan upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk mengembangkan diriserta mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati,berperan serta, berkontribusi secara optimal, aman,leluasa,dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara,dan bermasyarakat. Penerapan dan jaminan hak yang digariskan dalam UU nomor 8 tahun 2016 tersebut memiliki urgensi tinggi terutama kaitanya dengan upaya penyelenggaraan pendidikan inkusif yang telah memiliki kekuatan hukum dengan diundangkannya permendiknas no. 70 tahun 2009.

2. Sarana Prasarana dan Penataan Ruangan

Sarana dan prasarana pendidikan merupakan fasilitas pendidikan yang sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan (Prasojo, 2015:2).Pendapat lain dikemukakan oleh Muhammad Joko Susilo (2008;65), sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan khususnya proses belajar mengajar.Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran. Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sarana prasarana pendidikan merupakan segala jenis fasilitas baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang mendukung proses pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan.

Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu.Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan

4

tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi aksesibilitas bagi kelancaran mobilisasi ABK, serta media pembelajaran yang sesuai dengan ABK (POS Pendidikan Inklusif, 2007).

a. Prinsif Desain Universal Layanan Pengembangan Aksesibilitas Sarana dan Prasarana Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Terdapat tujuh prinsip desain universal pengembangan aksesibilitas sarana dan prasarana dalam layanan Pendidikan inklusif yang ramah anak. Ketujuh prinsif tersebut adalah sebagai berikut :

Prinsip 1 : dapat digunakan oleh semua orang. Sebuah desain harus dapat digunakan dan bermanfaat bagi semua orang termasuk penyandang disabilitas. Penyediaan aksesibilitas bagi semua anak di sekolah dan di dalam sarana dan prasarana sekolah dapat diwujudkan melalui langkah yang sederhana dan hemat biaya.

Prinsip 2 : fleksibel dalam penggunaannya. Sebuah desain harus dapat mengakomodir beragam pilihan kenyamanan dan kebutuhan dalam penggunaannya.

Prinsip 3 : mudah digunakan. Sebuah desain harus mudah untuk dipahami bagi semua pengguna sebagai individu yang memiliki latar belakang pengalaman, pengetahuan, kemampuan bahasa, dan tingkat pemusatan konsentrasi yang berbeda-beda.

Prinsip 4 : informasi penggunaan yang jelas. Sebuah disain harus dapat memberikan informasi yang diperlukan secara jelas bagi para penggunanya yang memiliki perbedaan pada tingkat fungsi dan kondisi alat indera. Terkait pembelajaran di sekolah, maka sebaiknya buku pembelajaran dicetak dengan tinta dan juga Braille. Buku cetak tinta sebaiknya berkualitas baik dan memiliki paduan warna yang kontras. Minimal ukuran huruf yang digunakan (font) adalah 12. Jika buku dicetak

5

dengan menggunakan ukuran huruf yang lebih kecil, maka buku cetak besar juga harus disediakan untuk anak penyandang low vision.

Prinsip 5 : toleransi untuk kesalahan. Sebuah desain harus meminimalisir tingkat bahaya dan konsekuensi kerugian yang ditimbulkan jika terjadi kekeliruan atau kesalahan dalam penggunaannya.

Prinsip 6 : tidak memerlukan banyak tenaga fisik dalam penggunaannya.Sebuah disain harus dapat digunakan secara efisien, nyaman, dan tidak menyebabkan kelelahan pada penggunanya.

Prinsip 7 : ukuran dan ruang yang tepat. Ukuran dan lebar yang sesuai dalam sebuah disain ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi penggunanya dalam menjangkau, mendekati, mengembangkan, dan menggunakan terkait dengan ukuran, postur, dan kemampuan mobilitas pengguna yang berbeda-beda.

Contoh penerapan universal disain:

Ruang kelas yang fleksibel bagi semua penggunanya (kursi dapat dipindahkan), bangunan dengan lantai yang rata, jalan masuk tanpa tangga, akses masuk pintu yang cukup lebar, tombol yang bisa dikenali melalui indra peraba, pengaturan pencahayaan yang sesuai, rambu-rambu atau pelabelan yang jelas, dll. (Unesco, 2009)

b. Saran Praktis untuk Menciptakan Aksesibilitas di Ruang Kelas

 Pintu harus mudah dibuka dan ditutup serta tidak memerlukan banyak tenaga

 dalam membukanya (secara berangsur-angsur pintu yang sudah tua sebaiknya diganti). Sebaiknya gunakanlah pintu geser (sliding door) atau jenis pintu lain yang tidak menggunakan daun pintu agar tidak menghalangi akses bagi pengguna kursi roda. Pintu harus dibuat selebar mungkin agar mudah dilalui kursi roda.

 Sediakan ramp bagi pengguna kursi roda (kelandaian ramp sebaiknya tidak terlalu curam, ukuran ideal 1: 12 dengan penambahan panjang

6

12cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm. Standar minimum: 1:10 dengan penambahan panjang 10 cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm dan lebar ramp adalah 120 cm. Sedangkan ukuran kelandaian ideal adalah 1: 20 dengan lebar 95 cm. (dikutip dari “Aksesibilitas Fisik” diterbitkan oleh Arbeiter Samariter Bund (ASB).

Petunjuk: Pertimbangkanlah jarak antar meja di kelas guna memudahkan mobilitas kursi roda. Lebar kursi roda standar adalah 80 cm, agar dapat dilalui kursi roda maka jarak antar meja harus lebih dari 80 cm. Sebaiknya sediakan jalur pemandu di lorong sekolah sebagai peringatan •keberadaan obyek tertentu seperti pintu yang mungkin saja sedang terbuka ketika anak melewati lorong tersebut. Hal ini akan membahayakan siswa terutama bagi penyandang tunanetra. Saklar lampu sebaiknya diletakkan di tempat yang mudah di jangkau oleh semua anak dengan mempertimbangkan kemampuan jarak capai atau tinggi anak yang berbeda-beda.

 Tempatkan stop kontak dan saluran listrik pada satu posisi yang sama di setiap kelasnya dan sebaiknya diletakkan di atas meja dekat saklar sehingga memudahkan semua anak dalam penggunaannya terutama anak penyandang tunanetra dan disabilitas fisik.

 Perhatikan standar keamanan saat pemasangan segala jenis instalasi listrik, utamakan penggunaan perangkat yang memiliki fitur keamanan bagi anak. Misalnya dengan menggunakan stop kontak tertutup untuk mencegah anak memasukan jarinya ke dalam stop kontak yang dapat mengakibatkan anak terkena sengatan listrik.

 Gunakan warna-warna kontras untuk menciptakan lingkungan yang aksesibel dan ramah terhadap pembelajaran .

 Suara atau tingkat kegaduhan di dalam kelas dapat diminimalisir dengan menggunakan gorden, dekorasi dinding dari bahan tekstil, dan bahan peredam suara lainnya.

 Kodifikasi (penggunaan kode) warna sebaiknya digunakan untuk membedakan ruang kelas. Penerapan kodifikasi ini akan

7

memudahakan siswa terutama anak penyandang low vision, tunagrahita, lamban belajar dan lain-lain. Penerapan berbagai warna juga akan membuat kesan sekolah yang ceria dan menyenangkan bagi semua.

 Setiap pintu sebaiknya dilengkapi dengan simbol penanda atau keterangan dalamhuruf braille sebagai petunjuk bagi anak penyandang low vision maupun tuna netra.

Petunjuk: Setiap bagian bangunan sekolah dan materi pembelajaran sebaiknya bersifat aksesibel sejak awal perancangan maupun pembangunannya. Dengan demikian penyediaan aksesibilitas akan lebih hemat biaya bila dibandingkan jika penyesuaian aksesibilitas dibuat setelah bangunan atau materi pembelajaran siap pakai.

 Jika di sekolah hanya lantai 1 saja yang aksesibel, maka pastikan pula semua kelas yang di dalamnya terdapat siswa tunadaksa (misal, menggunakan kursi roda/kruk) ditempatkan hanya di lantai 1 saja.

 Halaman sekolah atau arena bermain anak, tidak seharusnya menjadi area parkir karena dapat membahayakan semua warga sekolah. (Unesco, 2009)

c. Prinsip Penataan Ruang Kelas Inklusif

Penataan ruang kelas dalam seting sekolah inklusif bertujuan untuk memudahkan aksesibilitas dalam aktivitas pembelajaran bagi semua peserta didik, termasuk di dalamnya PDBK. Berikut ini prinsip penerapan ruang kelas dari kelas rendah sampai kelas tinggi sekolah dasar inklusif yang mengusung tema ramah anak.

1) Berpusat Pada Anak (Child Centered)

Penataan ruang kelas harus memungkinkan anak untuk bergerak, berinteraksi, berdiskusi, dapat mengakses alat bahan secara mandiri sesuai dengan kebutuhannya.

2) Learning Centers (pembagian Zona)

8

Area-area dimaksudkan sebagai sumber belajar bagi anak yang sebisa mungkin ditata sesuai dengan apa yang sedang dipelajari (tema Pembelajaran)

3) Menarik dan Menantang

Penataan dibuat sedemikian rupa agar menarik dan kreatif sehingga memunculkan rasa senang bagi siswa dan mampu memberikan insfirasi. Penataan kelas juga harus menantang hingga mendorong siswa untuk mengeksplorasi, menemukan, dan berpikir.

4) Estetis

Selain harus menarik dan menantang, penataan ruang kelas juga harus memperhatikan prinsip estetika.penataan kelas harus tetap rapi, bersih dan mampu memunculkan nilai seni. ( Oktina, 2014)

d. Sarana dan Prasarana Umum yang Dibutuhkan di Sekolah Inklusif

Sarana dan prasarana umum yang dibutuhkan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif relatif sama dengan di sekolah reguler pada umumnya, yaitu meliputi: ruang kelas, ruang praktikum (laboratorium), ruang perpustakaan, ruang serbaguna. ruang bimbingan konseling. ruang usaha kesehatan sekolah, ruang kepala sekolah, guru, dan tata usaha, lapangan olahraga, toilet, ruang ibadah, ruang kantin, ruang sumber ( ruang ini merupakan kekhususan pada sekolah inklusif yang membedakan dengan sekolah lainnya. Ruang sumber ini dilengkapi media khusus yang diperlukan bagi ABK).

e. Media Pembelajaran dan Peralatan Khusus

Mengapa sarana-prasarana, media pembelajaran, dan peralatan khusus bagi ABK dalam seting sekolah inklusif sangat penting? SPPI adalah sekolah yang menyediakan layanan pendidikan bagi semua peserta didik reguler maupun PDBK di kelas yang sama. SPPI merupakan tempat pendidikan untuk ABKguna mendapat perlakuan secara proporsional dari semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Konsekuensi dari kondisi SPPI menuntut adanya penyesuaian strategi

9

pembelajaran dalam upaya melaksanakan kurikulum yang telah disahkan secara nasional.

KehadiranPDBK menuntut sekolah untuk menyiapkan sarana-prasarana khusus sesuai dengan karakteristik peserta didik dan strategipembelajaran oleh guru yang bervariasi. Penyediaan sarana-prasarana dan media pembelajaran tidak perlu menuntut adanya biaya tinggi dan sulit untuk mendapatkannya. Berbekal kreativitas, para guru dapat membuat dan menyediakan sumber belajar, media belajar yang sederhana dan murah. Misalnya, guru dan peserta didik memanfaatkan bahan bekas. Bahan bekas yang banyak berserakan di sekolah dan rumah, seperti kertas, bekas kaleng minuman, mainan, kotak pembungkus, bekas kemasan sering luput dari perhatian kita. Dengan sentuhan kreativitas, bahan-bahan bekas yang biasanya dibuang secara percuma dapat dimodifikasi dan didaur-ulang menjadi sumber belajar, media belajar yang sangat berharga. Demikian pula, dalam memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, media belajar tidak perlu harus pergi jauh dengan biaya yang mahal, lingkungan yang berdekatan dengan sekolah dan rumah pun dapat dioptimalkan menjadi sumber belajar yang sangat bernilai bagi kepentingan belajar peserta didik. Tidak sedikit sekolah-sekolah memiliki halaman atau pekarangan yang cukup luas, namun keberadaannya seringkali ditelantarkan dan tidak terurus. Jika saja lahan-lahan tersebut dioptimalkan tidak mustahil akan menjadi sumber belajar/media pembelajaran yang sangat berharga bagi peserta didik (Direktorat pembinaan Pendidikan Khusus dan layanan Khusus, 2012).

Sarana dan prasana dalam bentuk peralatan khusus sangat menunjang bagi layanan pembelajaran berkualitas. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan ABK di sekolah inklusif tentunya sangat bervariasi sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak.

Layanan pembelajaran yang berkualitas untuk peserta didik tunagrahita misalnya membutuhkan dukungan sejumlah media pembelajaran dan

10

peralatan khusus seperti:a) alat asesmen, b) media untuk latihan sensori visual, c) media untuk latihan sensori perabaan, d)media atau alat bantu untuk sensori pengecap dan perasa, e) media dan peralatan khusus untuk latihan bina diri, f) media untuk memperkenalkan konsep dan simbol bilangan, g) media dan peralatan khusus untuk pengembangan kreativitas, daya pikir dan konsentrasi, h) alat pengajaran bahasa, dan i) latihan perseptual motor.

B. Pengelolaan Lingkungan Non Fisik

Pengelolaan non fisik dalam konteks akomodasi lingkungan ramah anak seting sekolah inklusif merupakan bagian dari implementasi sekolah ramah anak. Oleh karena itu mari kita bahas terlebih dahulu konsepsi tentang sekolah ramah anak. Selanjutnya kita bahas situasi dan suasana pembelajaran yang inklusif ramah anak, Pengelolaan kelas (Classroom management), pengembangan kerjasama dengan pihak lain, pengembangan siklap/karakter penerimaan terhadap peserta didik, penerapan strategi tutor teman sebaya, dan pengelolaan peserta didik.

1. Konsep Dasar Sekolah Ramah Anak dalam Konteks Pendidikan Inklusif

Konsep Sekolah Ramah Anak didefinisikan sebagai program untuk mewujudkan kondisi aman, bersih, sehat, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, yang mampu menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya, selama anak berada di satuan pendidikan, serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran dan pengawasan. Secara konseptual Sekolah Ramah Anak adalah satuan pendidikan yang mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak, dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, dan mekanisme pengaduan (Permen PP dan PA Nomor 8 Tahun 2014). Sekolah Ramah Anak adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan

11

nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus.

Secara umum, prinsip utama sekolah ramah anak adalah bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pembentukan dan Pengembangan Sekolah ramah anak (SRA) didasarkan pada prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan anak, kelangsungan hidup, perkembangan, penghormatan terhadap pandangan anak, dan pengelolaan yang baik. (Direktorat Pembinaan Guru Dikmen dan Diksus, 2019)

2. Situasi dan Suasana Pembelajaran

Situasi dan suasana pembelajaran yang ramah anak dan dilandasi nilai-nilai kebersamaan merupakan bagian penting dalam konteks akomodasi lingkungan non fisik di sekolah inklusif. Untuk mewujudkan nilai-nilai kebersamaan dalam seting sekolah inklusif, diperlukan suatu upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai kebersamaan (Togetherness Values) dalam aktivitas pembelajaran maupun kegiatan di luar pembelajaran, seperti kegiatan ekstrakurikuler, bahkan dalam momen bermain bebas saat waktu istirahat. Dalam konteks ini, sekolah dituntut untuk dapat memberikan makna terjadinya proses internalisasi nilai-nilai kebersamaan pada setiap aktivitas peserta didiknya.

Manakala nilai-nilai kebersamaan dapat di internalisasikan di SPPI, maka sekolah inklusif akan memberikan peran sebagai agen perubahan terwujudnya masyarakat inklusif sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia, yakni masyarakat yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Situasi dan suasana pembelajaran yang dibangun diatas keberagaman tetapi menuju kearah tujuan yang sama, yaitu memberikan layanan Pendidikan yang berkualitas sesuai kakarkeristik dan kebutuhan individu peserta didik dengan menempatkan nilai kebersamaan sebagai nilai intinya (Core value).

12

Berdasarkan kajian terhadap komponen program (Stainback, 1990:23), aktivitas pembelajaran (Unesco, 1998), layanan pembelajaran (Johnsen dan Skojen, 2001:5), respon terhadap keragaman peserta didik (Lynch, dalan Budiyanto, 2005 : 42-46), dan pola pembelajaran, dapat dirumuskan indikator nilai-nilai kebersamaan yang mewarnai situasi dan suasana pembelajaran dalam praktik penyelenggaraan sekolah inklusif sebagai berikut:

a. Sekolah menyediakan program yang layak, menantang, dan aksesible untuk semua peserta didik, dengan tetap memperhatikan aspek kebutuhan khusus pada setiap individu;

b. Setiap peserta didik, termasuk di dalamnya ABK, memiliki suasana yang damai dan harmoni dalam melakukan aktivitas pembelajaran dan aktivitas lainnya, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial;

c. Aktivitas pembelajaran di sekolah inklusif berbasis pada nilai perdamaian, demokrasi, hak asasi maunia, dan pembangunan berkelanjutan;

d. Adanya kepekaan sosial dan kesiapan akademis dari warga sekolah untuk senantiasa meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam memberikan layanan pembelajaran bagi setiap peserta didik yang berbasis pada analisis kebutuhan individu;

e. Sekolah harus merespon keragaman peserta didik secara luas, baik dalam hal latar belakang sosial ekonomi dan budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan, dan potensi yang berbeda-beda;

f. Pola pembejaran yang dilakukan di sekolah inklusif berbasis pada pendekatan pembelajaran berpusat pada anak (Teaching Base of Students Centre);

g. Pola pembelajaran yang berbasis pada pola kolaboratif yang sistemik, yang melibatkan peran dari kepala sekolah, guru, orang tua peserta didik, dan masyarakat.

(Hermansyah, 2014).

13

3. Manajemen/Pengelolaan Kelas (Classroom Management)

Manajemen kelas inklusif dirancang agar pembelajaran dalam kelas inklusif yang heterogen dapat berjalan secera efektif. Adanya peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah inklusi berimplikasi pada perubahan orientasi dan manajemen, tidak hanya pada level sekolah, tetapi juga pada manajemen kelas. Pembelajaran di sekolah inklusif dimana di kelas tersebut beranggotakan ABK menuntut perubahan dan penyesuaian-penyesuaian. Guru kelas tidak lagi berorientasi klasikal tetapi dihadapkan pada keberagaman kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, pengelolaan kelas di sekolah inklusif menjadi hal yang sangat penting dalam tataran implementasi pendidikan inklusif. Pemahaman yang baik terhadap pengelolaan kelas akan dapat meminimalisir permasalahan yang dialami oleh guru kelas dalam mengelola kelas yang heterogen.

Pembelajaran yang bermakna bukan saja hanya mengajar, bukan saja penyampaian informasi/pesan tetapi juga meliputi perkembangan pribadi siswa, interaksi sosial serta penanaman sikap dan nilai pada diri siswa. Proses belajar yang bermakna akan terwujud dalam kondisi, suasana iklim kelas yang kondusif, efektif, kreatif, produktif dan menyenangkan. Selain itu terbina hubungan interpersonal yang sehat dan mendorong munculnya perubahan perilaku belajar peserta didik yang diharapkan.

Pengelolaan kelas disekolah lnklusif adalah serangkaian aktivitas dan kegiatan yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran mulai dari perencanaan proses pembelajaran, metode, strategi dan pendekatan serta evaluasi pembelajaran. Manajemen kelas inklusif dirancang untuk tercipta kelas yang kondusif, aktif, kreatif, kooperatif dan menyenangkan melalui penciptaan lingkungan kelas yang kondusif, iklim dan suasana psiko sosial dan emosi yang positif, serta penciptaan sistem sosial yang memungkinkan anak dapat berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian manajemen atau pengelolaan kelas inklusif pada dasarnya merupakan

14

implementasi dari prinsif-prinsif pembelajaran yang harus mewarnai suasana pembelajaran.

Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik serta mengacu kepada kurikulum yang dikembangkan. SPPI dalam dimensi pengelolaan kelas inklusif perlu melakukan berbagai pembenahan diantaranya sebagai berikut:

a. Guru harus mampu menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka ragaman, dan menghargai perbedaan;

b. Sekolah harus siap mengelolaa kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual;

c. Guru harus mampu menerapkan pembelajaran yang interaktif, kolaboratif, dan memberikan stimulasi bagi terjadinya interaksi sosial diantara peserta didik yang beragam;

d. Guru pada SPPI dituntut mampu melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya manusia lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran;

e. Guru pada SPPI dituntut mampu melibatkan orang tua peserta didik secara bermakna dalam proses Pendidikan.

Pada proses pembelajaran di sekolah inklusif, PDBK disamping belajar secara klasikal dengan teman-teman sebayanya di dalam kelas, juga mendapatkan layanan bembelajaran individual sesuai kajian hasil asesmen akademik dan non akademik. Proses pembelajaran individual ini biasa disebut dengan istilah One to One Teaching yang sesi belajarnya dilakukan di ruang khusus pembelajaran individual.

Prinsip-prinsip pengelolaan kelas inklusif untuk berlangsungnya pembelajaran yang kondusif secara umum sama dengan prinsip pengelolaan pembelajaran bagi peserta didik pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan kebutuhan khusus yang mengalami kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas inklusif disamping

15

menerapkan prinsip-prinsip umum, juga diharuskan memiliki kemampuan menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik ABK.

16

DAFTAR RUJUKAN

Dadang Garnida ( 2015). Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung : PT. Refika Aditama

Edi Prabowo (2018) Belajar Inklusif ke Negeri Kanguru. Jakarta : Media Gur

Hermansyah (2014). Pengembangan Strategi Internalisasi Nilia-Nilai Kebersamaan pada Peserta Didik di Sekolah Dasar Inklusif-Disertasi. Bandung: UPI

Hermansyah (2017). Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kebersamaan Peserta Didik di Sekolah Inklusif. Jakarta : Mediaguru

J. David Smith (1998). Inclusion, School for All Student. Penerjemah -Denis,Ny Enrica (2015). Bandung : Nuansa Cendekia

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012) Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus.

Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Dikdasmen

Lantip D. Prasojo. (2005). Manajemen sarana dan prasarana berbasis TI. Diakses pada situshttp://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/Manaj%20Sarana%20Prasarana%20Berbasis%20TI.pdfpada tanggal 29 April 2013 pukul 19.24 WIB

Muhammad Joko Susilo. (2008). Kurikulum tingkat satuan pendidikan: Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Oktina Dwi Kartikasari ( 2014). Manajemen Sarana Prasarana Pembelajaran di SD Tumbuh 1 Yogyakarta.Skripsi S1 universitas Negeri Yogyakarta.

Prabowo, E (2018) Belajar Inklusif ke Negeri Kanguru. Jakarta : Media Guru 

sumber: gurubelajar.kemdikbud.co.id

Asesmen dan Planning Matrix

 


ASESMEN DAN PLANNING MATRIX

A. ASESMEN

1. Pengertian

Beberapa ahli mengemukakan pengertian asesmen seperti berikut ini: Lerner

(Mulyono, 2001) mengemukakan bahwa assesmen adalah suatu proses pengumpulan

informasi selengkap-lengkapnya mengenai individu yang akan digunakan untuk

membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan individu tersebut.

Selanjutnya Aianscow (Munawir Yusuf , 2007) menjelaskan bahwa assesmen dilakukan

berkenaan dengan pemberian informasi kepada sejawat (teman guru), pencatatan

pekerjaan yang telah dilakukan oleh anak didik, pemberian bantuan pada guru untuk

merencanakan pembelajaran pada anak, pengenalan terhadap kekuatan dan

kekurangan pada anak dan pemberian informasi kepada pihak-pihak terkait (seperti

orang tua, psikolog, dan para ahli lain) yang membutuhkan informasi tersebut.

Sementara itu secara khusus. Sementara itu secara khusus Mcloughlin dan lewis

(Sunardi dan Sunaryo, 2007) menjelaskan bahwa asesmen pendidikan anak berkelainan

adalah proses pengumpulan informasi yang relevan dengan kepentingan anak, yang

dilakukan secara sistematis dalam rangka pembuatan keputusan pengajaran atau

layanan khusus.

Dengan demikian dapat dimaknai bahwa asesmen anak berkebutuhan khusus

adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang anak secara menyeluruh yang

berkenaan dengan kondisi dan karakteristik kelainan, kelebihan dan kekurangan sebagai

dasar dalam penyusunan program pembelajaran dan program kebutuhan khusus yang

sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak.

Identifikasi dan asesmen merupakan tahapan atau rangkaian kegiatan dari suatu

proses pelayanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Identifikasi sering

disebut sebagai kegiatan penjaringan, sedangkan asesmen disebut penyaringan

(Direktorat PSLB, 2007). Kegiatan penjaringan biasanya belum tentu dilanjutkan ke

kegiatan penyaringan. Sementara itu, kegiatan penyaringan sudah tentu dilakukan

karena adanya kegiatan penjaringan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan identifikasi dapat

dilakukan oleh guru dan pihak lain yang dekat dengan anak, seperti orang tua dan

keluarganya, sedangkan asesmen biasanya perlu melibatkan tenaga profesional yang

ahli dalam bidangnya, seperti psikolog, sosiolog dan terapist.

2. Jenis asesmen dalam pendidikan khusus

a) Asesmen akademik

Asesmen akademik adalah suatu proses untuk mengetahui kondisi/kemampuan

peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dalam bidang akademik. Bagi PDBK pada

jenjang preeschool, kemampuan akademik yang perlu digali terkait dengan

kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Sedangkan bagi PDBK pada jenjang

pendidikan dasar dan selanjutnya, kemampuan akademik yang perlu digali adalah

terkait dengan semua bidang studi/mata pelajaran yang diajarkan pada sekolah

tersebut.

b) Asesmen non-akademik (kekhususan)

Asesmen kekhususan dalam pendidikan khusus adalah suatu proses untuk mengetahui

kondisi PDBK yang berkaitan dengan jenis hambatan yang disandangnya secara

mendalam komprehensif dan akurat. (Akan dipelajari dalam materi ke 5 pada

pertemuan ke 6 tentang pengenalan program kebutuhan khusus).

c) Asesmen perkembangan

Asesmen non akademik/perkembangan ini adalah suatu proses untuk mengatahui

kondisi perkembangan PDBK yang terkait dengan kemampuan intelektual, emosi,

perilaku, komunikasi yang sangat bermanfaat dalam mempertimbangkan penggunaan

metode, strategi maupun pemilihan alat bantu yang tepat baik dalam penyusunan

perencanaan pembelajaran (akademik) maupun dalam penyusunan program

kebutuhan khusus.

3. Tujuan dan fungsi

Tujuan utama kegiatan asesmen adalah memperoleh informasi tentang kondisi anak, baik

yang berkaitan dengan kemapuan akademik, non akademik dan kekhususan secara

lengkap, akurat dan obyektif.

Sedangkan fungsi asesmen dalam kontek ini adalah untuk membantu guru dan terapis

dalam menyusun perencanaan pembelajaran dan program layanan kebutuhan khusus yang

tepat. Dalam hal ini hasil asesmen dapat difungsikan sebagai kondisi kemampuan awal

(baseline) anak sebelum diberikan layanan baik akademik maupun program kebutuhan

khusus.

4. Sasaran

Sejalan dengan tujuan dan fungsi asesmen seperti diuraikan di atas, maka sasaran asesmen

adalah semua peserta didik yang pada fase identifikasi telah ditetapkan sebagai peserta

didik berkebutuhan khusus.

5. Strategi

a) Menetapkan jenis asesmen yang akan dilakukan (akademik, non-akademik/kekhususan

atau perkembangan)

b) Memilih/mengembangkan instrumen asesmen yang tepat

c) Melakukan asesmen sesuai dengan panduan yang dipersyaratkan.

d) Melakukan tabulasi, klasifikasi dan analisis hasil asesmen.

e) Melakukan case conference terhadap temuan dan hasil analisis tersebut, untuk

menentukan baseline dan penetapan perencanaan pembelajaran/ program

pengembangan/interfensi yang akan dilakukan.

f) Mendokumentasikan semua data hasil asesmen dan kesepakatan hasil case

conference .

B. PLANNING MATRIX

1. Pengertian

Program layanan kebutuhan khusus didasarkan pada simpulan hasil asesmen secara

langsung. Hal ini tidak salah namun materi yang dipergunakan sebagai dasar

penyusunan program masih berupa potongan-potongan simpulan atas hasil asesmen

yang telah dilakukan. Quentin Iskov, Project Officer: Disabilities Department of

Education and Children’s Services (2012) menambahkan satu tahapan lagi sebelum

menyusun program intervensi, yaitu penyusunan planning matrix. Planning matrix

adalah mapping diskripsi tentang kondisi ABK secara individu yang menggambarkan

tentang kondisi actual hambatan karakteristiknya, dampak, strategi layanan dan media

yang diperlukan dalam intervensi. Deskripsi mapping karakteristik kebutuhan khusus

tersebut selanjutnya disusun skala prioritas yang menggambarkan urutan urgensi

masalah yang perlu segera ditangani. Oleh sebab itu dengan adanya planning matrix ini,

guru pendidikan khusus menjadi sangat terbantu, karena untuk menetapkan program

layanan kebutuhan khusus, tinggal menyusun program layanan kebutuhan khusus

tersebut sesuai dengan skala prioritas yang telah diperoleh. Pada awalnya planning

matrix ini dibuat untuk anak autis spectrum disorder, namun dalam perkembangannya,

ABK dengan hambatan lainnya juga menjadi sangat terbantu dengan plaanning matrix

ini. Jenis hambatan/kelainan pada ABK yang selanjutnya dapat dirumuskan.

2. Tujuan

a) Memetakan kondisi aktual akademik maupun kekhususan ABK

berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan

b) Menganalisis dampak dari masing-masing aspek kondisi aktual ABK baik

akademik maupun kekhususannya.

c) Menganalisis strategi layanan yang tepat pada ABK sesuai dengan kondisi

dan kebutuhan khusus ABK baik akademik maupun kekhususannya.

3. Fungsi

a) Memudahkan guru/terapis dalam menetapkan kondisi awal aktual

(baseline) ABK baik aspek akademik maupun kekhususan.

b) Membantu guru/terapis dalam mempuan mapping kondisi ABK secara

komprehensif.

c) Memudahkan guru/terapis dalam menetapkan skala prioritas layanan

kekhususan yang harus segera dilakukan.

4. Prosedur pengembangan planning matrix

a) Mengkategorikan data hasil asesmen berdasarkan jenis hambatan/

kelaianan ABK.

b) Membuat tabel mapping ABK berdasarkan jenis hambatan/kelainannya

sesuai dengan temuan asesmen.

c) Menuangkan temuan kondisi aktual karakteristik ABK pada tabel mapping

yang telah dibuat.

d) Menganalisis dampak temuan kondisi aktual ABK dan dituang pada tabel

yang telah dibuat.

e) Menganalisis strategi layanan pada setiap temuan kondisi aktual ABK dan

dituangkan pada tabel yang telah dibuat.

f) Menganalisis skala prioritas layanan berdasarkan berat ringannnya

dampak yang telah dituangkan pada tabel tersebut.

sumber: gurubelajar.kemdikbud.co.id

Program Pembelajaran Individual bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK)


Hakikat Pembelajaran Individual

1. Pengertian PPI

Program Pembelajaran Individual dikenal dengan The Individualized Education Program (IEP) yang diprakarsai oleh SAMUEL GRIDLEY HOWE tahun 1971, yang merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK).

Bentuk pembelajaran ini sudah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1992, yang merupakan satu rancangan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) agar mereka mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhannya dengan lebih memfokuskan pada kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK).

MERCER and MERCER (1989) mengemukakan bahwa “program pembelajaran individual menunjuk pada suatu program pembelajaran dimana peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) bekerja dengan tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasinya”.

Hal ini disebabkan karena perbedaan antara individu pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) sangat beragam, sehingga layanan pendidikannya lebih diarahkan pada layanan yang bersifat individual, walaupun demikian layanan yang bersifat klasikal dalam batas tertentu masih diperlukan.

Progrm Pembelajaran Individual harus merupakan program yang dinamis, artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK), yang diarahkan pada hasil akhir yaitu kemandirian yang sangat berguna bagi kehidupannya, mampu berperilaku sesuai dengan lingkungannya atau berperilaku adaptif.

Perlu dipahami, PPI merupakan fungsi mata rantai terpadu antara asesmen dan pengajaran; jadi pengembangan PPI tergantung pada pengumplan data asesmen. PPI memberi tekanan pada keterbatasan minimal, kesesuaian penempatan dan garis besar program pengajaran. Untuk itu PPI harus dievaluasi kemudian ditulis ulang dalam jangka waktu satu tahun, sepanjang layanan masih dibutuhkan.

2. Fungsi Program Pembelajaran Individual

1) Untuk memberi arah pengajaran; dengan mengetahui kekuatan, kelemahan dan minat peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) maka program yang diindividualisasikan terarah pada tujuan atas dasar kebutuhan dan sesuai dengan tahap kemampuannya saat ini.

2) Menjamin setiap peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) memiliki suatu progrm yang diindividualkan untuk mempertemukan kebutuhan khs mereka dan mengkomunikasikan program tersebut kepada orang-orang yang berkepentingan.

3) Meningkatkan keterampilan guru dalam melakukan asesmen tentang karakteristik kebutuhan belajar tiap peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dan melakukan usaha mempertemukan dengan kebutuhan-kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK).

4) Meningkatkan potensi untuk komunikasi antar atau dengan anggota tim, khususnya keterlibatan orang tua, sehingga sering beretemu dan saling mendukung untuk keberhasilan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dalam pendidikan

5) Menjadi wahana bagi peningkatan usaha untuk memberikan pelayanan pendidikan yang lebih efektif.

3. Komponen Program Pembelajaran Individual.

Secara garis besar komponen Progrm Pembelajaran Individual meliputi :

1) Deskripsi tingkat kecakapan/kemampuan saat ini (performance levels): tingkat kemampuan/kecakapan yang diketahui setelah dilakukan asesmen, sehingga guru kelas dapat mengetahui kekuatan, kelemahan dan kebutuhan pembelajaran peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) yang bersangkutan. Informasi ini umumnya berkaitan dengan kemampuan akademik, pola perilaku khusus, keterampiln menolong diri, bakat voksional, dan kemampuan berkomunikasi

2) Sasaran program tahunan/tujuan pengajaran tahunan ( longrange or annual goals) Komponen ini merupakan kunci komponen pembelajaran karena dapat memperkirakan program jangka panjang selama kegiatan sekolah dan dapat dipecah-pecah menjadi beberapa sasaran. Kerjasama antara guru dan orangtua perlu dilakukan sehingga tujuan pembelajaran lebih realis.

Merumuskan tujuan PPI hrus memperhatikan empat kriteria yaitu:

a.. dapat diukur -> pernyataan harus menggunakan kata kerja opersional (menyebutkan ,menjelaskan, mendefinisikan,mengidentifikasi, menulis dll) dan tidak menimbulkan penafsiran ganda (memahami, mengetahui, mengerti )

b. positif -> tujuan itu harus membawa perubahan ke arah positif (mis. “peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dpat merespon waktu dengan tepat” bukan “peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dapat bertahan menutup mulut”

c. orientasi pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) > merumuskan apa yang dipelajari bukan apa yang peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) pikirkan (mis: siswa dapat menanggapi secara lisan pertanyaan dengan dua-tiga prase)

d. relevan -> sesuai dengan kebutuhan individu.

3) Sasaran belajar jangka pendek (shortterm objectives)

Sasaran belajar jangka pendek/tujuan jangka pendek harus dikonsep dan dikembangkan melalui analisa tugas, dipakai sebagai acuan dalam proses pembelajaran guna mencapai kemampuan yang lebih spesifik.

Sasaran belajar ini harus dapat diamati, dapat diukur, berpusat pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK), positif dan hendaknya mencerminkan pengajaran antara tingkat kecakapan dan tujuan akhir. Tujuan khusus mempunyai beberapa komponen yaitu ABCD (Audience – Behavior – Condition – Degree); mis:

 Jika ditunjukkan empat warna (condition) Budi (audience) dapat menyebutkan nama-nama warna tsb (behavior) 100% benar (degree).

 Anak diberi empat macam uang logam bernilai Rp.25,- , Rp.50,- . Rp.100,-dan Rp.500,-; dapat menentukan nilai tiap mata uang logam tsb dengan ketepatan seratus persen.

4) Diskripsi pelayanan(Description of services) , meliputi :* guru yang mengajar, * isi program pengajaran dan kegiatan pembelajaran, * alat yang dipergunakan.

5) Tanggal pelayanan (Dates of service) -> dlam Program Pembelajaran Individual harus terdapat tanggal kapan pengajaran mulai dilaksanakan dan antisipasi lamanya pelayanan.

6) Penilaian (Evaluation) ->terbagi dalam dua bagian yaitu:

a. Penilaian untuk menentukan tingkat kecakapan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) saat ini, menjelaskan kekuatan dan kelemahan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) (assesment)

b. Menilai keberhasilan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dalam mencapai tujuan jangka pendek yang telah ditetapkan.

Prosedur penilaian dapat dilakukan dengan lisan, tulisan atau perbuatan.

Metodenya dapat melalui tes atau observasi.

sumber: gurubelajar.kemdikbud.co.id

Akomodasi Kurikulum di sekolah inklusif


1. Akomodasi Kurikulum

 

Bagaimana cara melakukan akomodasi kurikulum di sekolah inklusif? Akomodasi kurikulum yang dapat dilakukan bagi PDBK yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif adalah melalui modifikasi dan adaptasi kurilkulum.

a. Model Modifikasi

 

Modifikasi berarti merubah atau menyesuaikan satu atau beberapa komponen kurikulum dengan menggunakan standar isi (KI-KD) standar kurikulum nasional. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka model modifikasi berarti cara pengembangan kurikulum, dimana kurikulum umum yang diberlakukan bagi siswa-siswa reguler dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus.

 

Dengan demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan mereka. Modifikasi dapat diberlakukan pada empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, proses, dan evaluasi.

1) Modifikasi Tujuan

 

Modifikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum umum dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Sebagai konsekuensi dari modifikasi tujuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka akan memiliki rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan siswa-siswa reguler, baik berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL), kompetensi inti (SI, kompetensi dasar (KD) maupun indikatornya.

 

2) Modifikasi Materi

 

Modifikasi ini berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan untuk siswa reguler dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus mendapatkan sajian materi yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan keleluasan, kedalaman dan kesulitannya berbeda (lebih rendah) daripada materi yang diberikan kepada siswa reguler.

3) Modifikasi Proses

 

Modifikasi proses berarti ada perbedaan dalam kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus dengan yang dialami oleh siswa


pada umumnya. Metode atau strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa reguler tidak diterapkan untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Jadi, mereka memperoleh strategi pembelajaran khusus yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi proses atau kegiatan pembelajaran bisa berkaitan dengan penggunaan metode mengajar, lingkungan/setting belajar, waktu belajar, media belajar serta sumber belajar.

 

4) Modifikasi Evaluasi

 

Modifikasi evaluasi, berarti ada perubahan dalam sistem penilaian hasil belajar yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan kata lain siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani sistem evaluasi yang berbeda dengan siswa-siswa lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan perubahan dalam soal-soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi. Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria kelulusan, sistem kenaikan kelas, bentuk rapor, ijasah,Dll.

 

 

b. Model Adaptasi

 

Adaptasi kurikulum bagi PDBK di sekolah inklusif meruapakan suatu keharusan. Mengingat bervariasnya kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh PDBK. Adaptasi kurikulum dilakukan dengan melakukan penyesuaian pada salah satu atau beberapa komponen kurikulum dan memungkinkan melakukan penyesuaian (menaikkan atau menurunkan) standar isi (KI dan KD).

 

Dalam artikel Toto Yulianto, (2012 : ..), berdasarkan grand design pendidikan inklusif nasional yang telah disepakati di Palembang tanggal 27-30 November 2007 bahwa yang menjadi substansi implementasi pendidikan inklusif adalah adaptasi. Adapun adaptasi itu meliputi kurikulum, pembelajaran, media dan alat pembelajaran, bahan ajar, penilaian serta pelaporan hasil belajar.

 

Untuk melakukan adaptasi kurikulum perlu mempertimbangkan:

 

1)  PDBK dengan kecerdasan rata-rata dapat menggunakan kurikulum reguler.

 

2)  PDBK dengan kecerdasan di atas rata-rata (amat cerdas/ IQ ≥ 125) dapat diikutkan program akselerasi.

 

3)  PDBK dengan kecerdasan di bawah rata-rata (IQ ≤ 90) dapat menggunakan mengadaptasi kurikum reguler sesuai dengan karakteristik PDBK ABK.


4)   Jenis PDBK tertentu memerlukan program kurikulum plus yaitu program kurikulum tambahan yang bersifat rehabilitatif-kompensatif dan tidak ada di sekolah reguler.

 

5)  PDBK yang tidak mampu mengikuti alternatif a), b), c) di atas dapat digunakan program pembelajaran individual (PPI) dimana kurikulum disusun atas dasar karakteristik PDBK secara individual. Adapun pola yang dapat diterapkan sebagai berikut:

 

·     Membuang sebagian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dianggap kurang penting bagi kehidupan anak.

 

·     Membuang sebagian kompetensi dasar.

 

·     Menggunakan bagian awal dan membuang di bagian akhir baik pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan.

 

·     Membuang bagian awal dan menggunakan di bagian akhir baik pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan.

 

 

Pengembangan kurikulum model adaptasi dapat dikembangkan dengan cara:

 

(1) duplikasi; (2) subtitusi, dan (3) model omisi.

 

 

(1) Model Duplikasi

 

Duplikasi artinya salinan yang serupa benar dengan aslinya. Menyalin berarti membuat sesuatu menjadi sama atau serupa. Dalam kaitannya dengan model kuriukulum, duplikasi berarti mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan untuk siswa pada umumnya (reguler). Jadi model duplikasi adalah cara dalam pengembangan kurikulum, dimana siswa-siswa berkebutuhan pendidikan khusus menggunakan kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak pada umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada empat kmponen utama kurikulum, yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.

(a) Duplikasi Tujuan

 

Duplikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada anak-anak pada umumnya/reguler juga diberlakukan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan demikian standar komptensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk siswa reguler juga diberlakukan untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, Demikian juga Kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan juga indikator keberhasilannya


(b) Duplikasi Isi atau materi

 

Duplikasi isi/materi berarti materi-materi pembelajaran yang diberlakukan kepada siswa pada umumnya/reguler juga diberlakukan sama kepada siswa-siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Siswa berkebutuhan pendidikan khusus memperoleh informasi, konsep, teori, materi, pokok bahasan atau sub-sub pokok bahasan yang sama seperti yang disajikan kepada siswa-siswa pada umumnya/ reguler.

 

(c) Duplikasi proses

 

Duplikasi proses berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kegiatan atau pengalaman belajar mengajar yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada umumnya/reguler. Duplikasi proses bisa berarti kesamaan dalam metode mengajar, lingkung -an/setting belajar, waktu belajar penggunaan media belajar dan atau sumber belajar.

(d) Duplikasi Evaluasi

 

Duplikasi evaluasi berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani evaluasi atau penilaian yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada umumnya/reguler. Duplikasi evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian, kesamaan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat atau lingkungan dimana evaluasi dilaksanakan.

 

(2) Subtitusi

 

Subtitusi berarti mengganti. Dalam kaitannya dengan model kurikulum, maka substansi berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum dengan sesuatu yang lain. Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus, tetapi masih bisa diganti dengan hal lain yang sebobot dengan yang digantikan. Model substansi bisa terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses maupun evaluasi.

 

(3) Model Omisi

 

Omisi berarti menghapus/menghilangkan. Dalam kaitan dengan model kurikulum, omisi berarti upaya untuk menghapus/menghilangkan sesuatu, baik sebagian atau keseluruhan dari kurikulum umum, karena hal tersebut tidak mungkin diberikaan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus.

 

Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum tetapi tidak disampaikan atau tidak diberikan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus, karena sifatnya terlalu sulit atau mampu dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Bedanya dengan substitusi adalah jika dalam substitusi ada


materi pengganti yang sebobot, sedangkan dalam model omisi tidak ada materi pengganti.

 

 

1) Adaptasi Pembelajaran

 

Variabel penting dalam pembelajaran, adalah: a) kondisi pembelajaran, b) metode pembelajaran, dan c) hasil pembelajaran.

 

Kondisi pembelajaran berkaitan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik mata pelajaran, kendala, dan karakteristik peserta didik. Adaptasi yang dapat dilakuan adalah sebagai berikut:

 

a)  Mengambil standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sama dengan kurikulum baku (reguler maupun SLB) namun menurunkan indikator (mengambil sebagian indikator).

 

b)  Mengambil standar kompetensi yang sama dengan kurikulum reguler dan merumuskan sendiri standar kompetensinya.

 

 

2) Adaptasi materi pelajaran

 

Tidak semua mata pelajaran dan atau materi pelajaran membutuhkan adaptasi. Hanya mata pelajaran dan atau meteri pelajaran yang menimbulkan kesulitan sebagai akibat langsung dari kelainannya yang membutuhkan adaptasi. Sebagai contoh dapat disajikan hal-hal sebagai berikut :

 

Anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam persepsi visual, sehingga pelajaran menggambar dapat diadaptasi dengan pelajaran ekpresi lain berkaitan dengan nilai seni. Kemudian materi pelajaran yang banyak membutuhkan fungsi visual diadaptasi dengan pemanfaatan indra pendengaran, taktual, penciuman serta indra lain non visual. Kebanyakan tunanetra kesulitan dalam pembentukan konsep global, mereka memulai pengertian dengan diawali pembentukan konsep detail per detail baru kemudian global.

 

Anak tunarungu/wicara memiliki keterbatasan dalam persepsi bunyi dan irama, dengan aktivitas bina wicara mereka masih mampu berbicara secara terbatas sekalipun mereka tidak dapat mendengar terhadap apa yang mereka sendiri ungkapkan. Materi pelajaran sebaiknya disajikan dalam bentuk gambar-gambar, terutama dalam pembentukan konsep yang berurutan. Hindarkan kata-kata yang belum dikenal anak, kecuali kata yang sukar tersebut sebagai upaya untuk menambah kekayaan bahasa mereka. Pertanyaan/ soal hendaknya ringkas/ pendek tetapi cukup representatif.


Anak tunagrahita, kesulitan yang amat menonjol adalah fungsi kognisi dan bahkan bila tingkat ketunagrahitaannya berat juga fungsi aspek lain mengalami kelainan. Sebagai contoh bila anak itu mengalami lamban belajar bila dibanding dengan teman rata-rata lain dapat hal-hal sebagai berikut:

 

·     Materi disajikan dalam bobot yang berbeda dengan teman rata-rata lain. Sekalipun dalam satu tujuan pembelajaran yang sama atau dengan kata lain penyederhanaan materi pelajaran sehingga sesuai dengan tingkat kemampuan anak.

 

·     Materi disajikan dengan pendekatan konseptual, maksudnya sebelum anak dituntut untuk menguasai pengertian secara abstrak harus didahului dengan penanaman konsep secara kongkrit dan berulang-ulang.

 

·     Adaptasi   materi   pelajaran   hanya   dilakukan  terhadap   materi-materi   yang menimbulkan kesulitan anak.

 

Bila dalam kelas terdapat peserta didik gifted, maka materi pembelajaran harus dikembangkan/diperkaya secara horisontal dengan bobot yang lebih sulit. Percepatan (akselerasi) penyajian materi secara vertikal dimungkinkan dengan menaikkan kelas yang lebih tinggi yang tidak perlu menunggu pada akhir tahun pelajaran. Pendidik dalam pembelajaran terhadap anak ini hanya bertindak sebagai fasilitator. Perlu diperhatikan bahwa usia sosial dan emosinya sebenarnya masih sama dengan perkembangan emosi dan sosial anak rata-rata, dan hanya perkembangan kognisinya yang lebih cepat bila dibanding dengan anak seusianya.

 

Anak dengan variabel ketunaan yang lain misalnya tunadaksa dengan kondisi tanpa kaki/ polio pada kedua kaki tentu tidak dibutuhkan adaptasi materi pelajaran.

 

Untuk menghadapi berbagai kendala perlu adaptasi media, alat dan bahan ajar.Telah banyak diciptakan alat-alat dari hasil adaptasi yang khusus dipergunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Adaptasi tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh mereka yang menggunakan. Komputer untuk tunanetra yang dilengkapi dengan screen reader (komputer bicara), kalkulator bicara, mount botten, laser can untuk membantu tunanetra berjalan dll. Alat bantu dengar untuk anak tunarungu/wicara.

 

Adaptasi sarana/ alat pelajaran/ alat peraga dalam hal ini adalah adaptasi yang setiap saat dapat melakukan pendidik dalam pembelajaran di kelas. Melalui adaptasi tersebut anak dengan kebutuhan khusus dapat melakukan/merasakan/ mengamati seperti apa yang dilakukan oleh anak-anak lain. Di bawah ini beberapa


contoh yang mungkin dapat diterapkan dalam pembelajaran untuk adaptasi bahan ajar:

 

·     Untuk peserta didik tunanetra dapat bahan ajar diadaptasi dengan buku braille, buku bicara, buku digital, dll.

 

·     Untuk peserta didik tunarungu dapat disertai gambar/ visualisasi yang dapat mewakili narasi/ teks.

 

·     Dalam mempelajari bangun geometri anak tunanetra harus mempelajari benda asli/ model/ setidaknya gambar timbul, sehinga anak tunanetra dapat meraba, begitu pula mempelajari peta suatu wilyah juga harus berupa peta timbul.Anak lamban belajar menulis harus dilihat kasus demi kasus. Mungkin tulisannya jelek, tidak dapat membedakan antara huruf-huruf tertentu, menulisnya lamban.

 

·     Anak autis perlu meja khusus yaitu meja yang tidak menjadikan anak banyak bergerak.

 

·     Anak polio (kursi roda) diperlukan kursi dan meja yang dapat dijangkau (diturunkan) dan ruang yang cukup untuk menempatkan kursi roda.

 

·     Penempatan sarana dan alat/ buku-buku mudah dijangkau untuk semua anak. Berikut ini contoh silabus yang telah mengalami akomodasi kurikulum.






Berdasarkan uraian di atas, memunculkan pertanyaan sebagai berikut; Apakah tujuan pembelajaran yang akan diberlakukan bagi PDBK sama dengan peserta didik lainnya?

 

 

Dari pertanyaan di atas maka jawaban yang dapat dikemukakan adalah:

 

Ada kemungkinan bahwa tujuan pembelajaran disamakan (duplikasi), tetapi materinya harus dimodifikasikan. Kemungkinan lain adalah bahwa tujuan pembelajaran perlu dimodifikasi, materi juga perlu dimodifikasi, tetapi prosesnya disamakan.

 

1)  Ada kemungkinan bahwa baik tujuan pembelajaran, materi, proses dan juga evaluasinya harus dimodifikasi.

 

2)  Modifikasi atau tidaknya suatu komponen sangat tergantung kepada kondisi, sifat atau kadar dari komponen tersebut serta tingkat hambatan yang dialami siswa berkebutuhan pendidikan khusus.

 

3)  Semakin berat tujuan atau materi pembelajaran yang ada, semakin perlu untuk dimodifikasikan, dan semakin berat hambatan intelektual siswa, juga semakin perlu dilakukan modifikasi.

 

 

Kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus pada dasar bervariasi sesuai dengan jenis hambatan yang dialami oleh siswa yang berssangkutan. Setiap jenis hambatan (kelainan) membutuhkan model kurikulum yang berbeda. Namun demikian, kategorisasi kurikulum bagi siswa berkebutuhan pendidikan khusus dalam setting inklusif dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni:

 

1)  Kurikulum bagi PDBK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan.

 

2)  Kurikulum bagi PDBK yang mengalami hambatan kecerdasan.

 

 

1) Kurikulum bagi PDBK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan.

 

Peserta didik berkebutuhan khusus yang tidak mengalami hambatan kecerdasan, seperti anak tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dll. membutuhkan sedikit modifikasi dalam pembelajaran. Tujuan dan materi pembelajaran umumnya tidak mengalami perubahan, demikian dengan evaluasinya. Mereka biasanya lebih banyak membutuhkan modifikasi dalam proses pembelajaran yakni berkaitan dengan cara dan media dalam penyajian informasi. Kecenderungan model kurikulum untuk mereka dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:

2) Kurikulum bagi PDBK yang mengalami hambatan kecerdasan

Peserta didik berkebutuhan pendidikan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan seperti anak tunagrahita dan anak yang mengalami kelainan lain yang disertai dengan hambatan kecerdasan, biasanya membutuhkan modifikasi hampir pada semua komponen pembelajaran.

Tujuan pembelajaran harus dimodifikasi, sama halnya dengan materi, proses dan pelaksanaan evaluasinya. Kecenderungan model kurikulum untuk PDBK yang mengalami hambatan kecerdsan dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:

Berikut ini contoh matrik modifikasi indikator, kompetensi dasar dan materi yang dapat dilakukan untuk modifikasi kurikulum PDBK di sekolah inklusif.








Dari seluruh penjabaran di atas bahwa PDBK adalah mereka yang mengalami hambatan dalam dirinya. Hambatan yang mereka miliki sangat bervariasi. Perkembangan pemahaman tentang pendidikan, membawa mereka untuk dapat menikmati pendidikan di sekolah regular yakni berada bersama anak-anak regular yang kita sebut sekolah inklusif. Sekolah inklusif semkain banyak ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum
reguler perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.

sumber: gurubelajar.kemdikbud.co.id